Bait 1: Adat sebagai Tiang Marwah
Adat dijunjung sepanjang masa,
Warisan lama pusaka bangsa,
Penentu arah dalam merasa,
Mengawal laku tutur dan rasa,
Membentuk jiwa luhur sentiasa,
Marwah dijaga jangan binasa,
Tanda Melayu hidup berjasa.
Bait 2: Zaman Berubah, Adat Bertahan
Biar zaman berubah rupa,
Adat tetap dijaga punca,
Walau teknologi makin berkuasa,
Jangan tercabut akar berasa,
Adat penyuluh jiwa merata,
Menahan diri dari durjana,
Membawa damai dalam belaka.
Bait 3: Budi dalam Adat
Dalam adat ada makna,
Tersirat budi dalam kata,
Tertib hidup jadi nyata,
Menyulam kasih antara kita,
Menjadi suluh kala derita,
Mendidik insan pada usia,
Membina bangsa berwibawa.
Bait 4: Adat sebagai Pedoman Hidup
Adat bukan beban semata,
Tapi rahmat yang tak ternila,
Di dalamnya marwah terbina,
Menjaga sikap tutur bicara,
Agar tak hilang arah tuju cita,
Menjadi panduan anak dewasa,
Dalam meniti hidup bersama.
Bait 5: Adat Membina Masyarakat
Jika adat dijunjung nyata,
Hilanglah cela datang cahaya,
Sopan santun jadi budaya,
Akal dihias budi yang sedia,
Hidup terarah tidak sia-sia,
Jiwa terjaga dari nestapa,
Masyarakat pun sejahtera.
Bait 6: Jangan Sampai Hilang Akar
Janganlah lalai dalam menjaga,
Warisan nenek moyang yang setia,
Hilang adat hancur semua,
Terputus akar hilang cerita,
Tiada lagi nilai dan tata,
Runtuh bangsa tanpa upaya,
Tinggal nama tiada jasa.
Bait 7: Bersatu Menjulang Warisan
Marilah kita bersatu jiwa,
Menjunjung adat penuh percaya,
Menyulam marwah dalam keluarga,
Mewaris nilai sepanjang usia,
Mendidik anak dengan cakna,
Agar Melayu terus berjaya,
Dalam dunia hingga ke syurga.
📖 ULASAN
Adat Itu Nafas, Bukan Sekadar Pusaka
Dalam bait-bait yang tenang namun sarat makna, Bab 1 Syair 7 membawa kita merenung tentang makna sejati dari adat. Adat bukan benda mati yang teronggok di rak sejarah. Ia adalah nafas—yang menghidupkan jati diri, yang menghembuskan arah, dan yang menjaga kita tetap manusia berbudaya. Di sinilah marwah, kehormatan, dan harga diri sebuah bangsa ditambatkan: pada adat yang dijunjung tinggi, bukan sekadar dikenang dengan sepi.
Akar Tak Boleh Putus, Meski Ranting Tumbuh Jauh
Zaman boleh melaju. Dunia boleh berpaling. Tapi jika akar kita tercerabut, bagaimana mungkin pohon marwah dapat berdiri tegak? Syair ini seperti pelita dalam gulita, mengingatkan bahwa dalam derasnya perubahan, kita tetap harus menggenggam akar—yakni adat. Ia bukan penjara bagi kebebasan, tapi pagar yang menjaga kita dari kehilangan arah. Adat menenangkan, bukan membelenggu. Ia memberi makna pada setiap langkah yang kita ambil.
Budi dan Adat, Dua Wajah Cinta
Setiap baris syair mengalirkan satu pesan: bahwa dalam adat Melayu, budi adalah jantungnya. Di balik aturan dan tatacara, tersembunyi kasih sayang, penghormatan, dan kemuliaan. Adat yang benar bukan memaksa, tapi membimbing. Ia tak membentak, tapi memeluk. Ia mendidik anak-anak dengan halus, menuntun dewasa dengan santun. Inilah wajah cinta dalam budaya Melayu—cinta yang tak riuh, tapi mengakar.
Panduan Jiwa, Dari Ayunan ke Liang Lahad
Adat yang diangkat dalam bab ini adalah jalan hidup. Ia hadir saat bayi lahir, saat dua insan bersatu, saat masyarakat berhimpun, bahkan saat manusia kembali ke asal. Adat bukan hanya simbol. Ia adalah panduan jiwa yang mengisi ruang-ruang kehidupan: dari yang paling sunyi, hingga yang paling ramai. Tanpa adat, hidup kehilangan irama. Tanpa marwah, kita kehilangan cahaya.
Ajakan Sunyi yang Menggema dalam Diri
Ada gema lembut yang menyusup dari syair ini. Ia bukan seruan keras, tapi bisikan yang membangkitkan nurani: "Jangan biarkan adat hilang. Jangan biarkan marwah roboh." Seruan itu tidak hanya untuk tokoh atau petinggi adat, tapi untuk setiap anak Melayu—dimanapun berada. Ajakan untuk menjaga, mencintai, dan menghidupkan kembali warisan yang hampir terlupa.
Jika Hilang Adat, Maka Hilanglah Kita
Bab ini juga memberi peringatan yang getir tapi jujur: tanpa adat, bangsa bisa tinggal nama. Jika marwah tak lagi dijunjung, maka yang tersisa hanyalah ragam budaya kosong—tak bernyawa, tak bermakna. Maka setiap tindakan untuk menjaga adat, sekecil apapun, adalah tindakan menyelamatkan masa depan. Bukan sekadar melestarikan budaya, tapi mempertahankan siapa kita sebenarnya.
Bersama Kita Menyulam Warisan
Sebagai penutup, bab ini bukan hanya refleksi, tapi juga doa dan harapan. Semoga kita—yang lahir dari rahim Melayu—tidak hanya menjadi pewaris nama, tapi penjaga makna. Mari bersatu hati, menyulam kembali benang-benang adat yang mulai renggang. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk membawa cahaya warisan itu ke masa depan.
✨ PENUTUP RASA
Bab 1 Syair 7 bukan sekadar puisi, tapi denyut nadi budaya. Ia merangkul pembaca, mengajak menyelami jati diri yang mulai mengabur. Ia membuka mata, tapi juga membuka hati. Dalam kesederhanaan bahasanya, tersimpan kebijaksanaan ribuan tahun. Inilah syair yang tidak hanya ditulis untuk dibaca—tetapi untuk dirasakan, dihidupkan, dan diteruskan.